Salah satu keniscayaan persebaran Islam di pelbagai belahan dunia adalah pelibatan negiosiasi dengan khazanah kepercayaan budaya lokal. Dalam beragam bentuk, negosiasi ini mewujud, sebagaimana diuraikan para sarjana, dengan beberapa term seperti “akulturasi”, “sinkretisasi” atau bahkan “ekletisisme” dan berbagai istilah lainnya. Pada kasus inilah Islam di Indonesia bukanlah sebuah pengecualian. Apa yang disebut sebagai Islam di Indonesia adalah Islam yang bermanifestasi dalam praktik kebudayaan lokal. Dan, meskipun praktik-praktik ini berbeda satu sama lain di tiap-tiap daerah, keseluruhannya tidak melepaskan doktrin teologis primer yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Salah satu praktik itu terlihat di dalam diskursus Islam Gorontalo yang memperlihatkan jalinan yang erat dengan budaya setempat. Diterimanya Islam di Gorontalo tidak lewat penaklukan karena memang, sedari awal, antara “Islam” dan “budaya” masyarakat Gorontalo telah memiliki kesamaan. Satu contoh misalnya tentang penyebutan terhadap “Yang Maha Tunggal” di Gorontalo sebagai Eya, memiliki kesamaan secara prinsipil dengan Allah SWT, yakni dia yang satu, yang menciptakan bumi dan langit. Perjumpaan ini juga tidak dimulai dengan penaklukan, melainkan lewat dialog secara gradual sebelum kemudian menjadi agama resmi kerajaan di abad ke 17. Dialog secara gradual ini, memungkinkan Islam di Gorontalo ditafsirkan lewat struktur pengetahuan dan kebudayaan (from within) masyarakat Gorontalo sendiri.
Dalam term kesarjanaan yang lebih luas, Islam Gorontalo ini dapat diartikan sebagai sebuah tradisi diskursif. Islam sebagai tradisi diskursif ini diperkenalkan oleh antropolog Talal Asad di dalam The Idea of Anthropology of Islam (Qui Parle, 2009), yang menyatakan bahwa Islam harus dilihat sebagai fenomena yang lahir berdasarkan proses-proses diskursif di mana ia terus menerus diproduksi sepanjang zaman. Berangkat dari pandangan inilah perjumpaan tradisi lokal Gorontalo dan Islam harus dilihat sebagai sebuah fenomena yang lahir dan berkembang di dalam konteks masyarakat di mana makna saling mengisi dan terus menerus saling mendefinisikan lewat proses-proses diskursif. Pada praktiknya, Islam Gorontalo adalah islam yang inklusif.
Formasi Diskursif Islam Gorontalo
Sultan Amai (1472-1550), putra adalah raja pertama Gorontalo yang memeluk Islam lewat pernikahan dengan Ratu Owutango, seorang putri Raja Palasa yang notabenenya telah menerima Islam dari Kesultanan Ternate. Islamisasi awal lewat tangan Amai ini tidak berlangsung dengan cara yang represif, namun berusaha mendialogkan dengan kebudayaan setempat. Lewat proses panjang, lahirlah falsafah Gorontalo yang berbunyi “syara’ topa-topango to adati” atau “syariat Islam berpangkal pada adat Gorontalo”. Meletakkan syariat Islam di bawah adat Gorontalo bukan berarti memberikan menomorduakan Islam, melainkan memberikan tafsir sepenuhnya kepada masyarakat Gorontalo pada waktu itu untuk memahami Islam sesuai dengan konstruk pengetahuan mereka. Ide ini lantas mengejawantah dalam produk hukum adat yang berjumlah 185 pasal yang paling banyak mengatur hubungan antara masyarakat.
Setelah Amai, kepemimpinan kerajaan berpindah ke Matolodulakiki pada tahun 1590. Islamisasi terjadi lebih luas lagi pada masa ini seturut direkonstruksinya makna filosofis pertama yang diusung Amai. Falsafah itu berbunyi “syara’a topa-topango to adati, adati topa-topango to syara’a” atau, “syariat berpangkal kepada adat, adat berpangkal pada syariat”. Formasi ini meniscayakan hubungan adat dan syariat yang saling terkait satu sama lain. Dari pembahasan ini, terlihat bahwa posisi Islam di wilayah Gorontalo semakin menguat dan ini dibuktikan dengan adanya 77 kitab Islam klasik yang beredar dan diajarkan di wilayah Gorontalo. Falsafah ini kembali berubah maknanya, di bawah kesultanan Eyato (1673) menjadi lebih eksplisit mendudukkan Islam sebagai sumber dari adat dan Istiadat Gorontalo. Falsafah itu, sekali lagi berbunyi “adati topa-topango to syara’a, syara’a topa-topango to quruani” atau “adat bersendi syara’, dan syara bersendi pada al-Quran”.
Sepintas, orang akan berkesimpulan bahwa perubahan falsafah adat Gorontalo ini meniscayakan eksklusivisme Islam. Namun demikian, bagi sejarawan kawakan Gorontalo Kuno Kaluku, tafsir terhadap falsafah Gorontalo ini bersumber dari pemaknaan orang-orang Gorontalo terhadap alam sebab antara Islam dan kebudayaan Gorontalo memiliki kesamaan prinsipil. Kaluku, dikutip melalui S.R Nur di dalam Ruh Islam dalam Budaya Nusantara: Etos Kerja Masyarakat Gorontalo (Yayasan Festival Istiqlal, 1996) menulis “adat Gorontalo itu berdasar pada ketentuan-ketentuan alam yang merupakan satu rahmat yang diperoleh dari nenek moyang orang Gorontalo...”. Lebih lanjut lagi, Kaluku menebalkan definisi adat Gorontalo sebagai “[praktik] orang dan masayrakat Gorontalo yang berkembang menjadi guru. Dan alam itulah amanat yang diterima dari Allah SWT oleh moyang kita”. Artinya, adat dan kebiasaan Gorontalo itu tidak turun dari langit begitu saja, melainkan terbentuk lewat kedekatan mereka dengan alam sebelum kemudian didefinisikan kembali seturut masuknya Islam dan dipertahankan hingga saat ini.
Praktik Islam Diskursif
Di zaman kiwari, salah satu praktik Islam Gorontalo ini, bisa kita lihat dalam menyambut dan menjalani Ramadan. Dalam proses menyambut ini, di Gorontalo, sehari sebelum Ramadan dikenal tradisi Huwi lo Yimelu, atau Menyambut Malam Ramadan. Tradisi ini bermanifestasi ke dalam praktik saling tegur sapa, juga silaturrahmi, atau yang paling intim adalah bermaaf-maafan. Setelah menjalin tali silaturahmi, biasanya umat Islam Gorontalo membersihkan badan dengan menggunakan bahan alami seperti kelapa dan dedaunan untuk mengharumkan tubuh. Praktik ini disusul dengan mongoloto malu’o atau menyembelih ayam yang dilakukan oleh para pegawai syar’i (biasanya di kampung-kampung). Cara ini dilakukan untuk memperkenalkan Ramadan ini kepada anak-anak bahwa Ramadan harus dimuliakan. Ayam-ayam ini tidak dimakan sendiri, namun demikian, dibagikan kepada tetangga (mongohi malu’o) untuk semakin mempererat tali silaturahmi antar mereka.
Contoh lain yang masih berkaitan erat dengan Ramadan adalah tradisi Malam Qunut, atau perayaan malam ke 15 Ramadan. Biasanya, setelah melaksanakan salah tarawih di Masjid, masyarakat lalu berkumpul, bererita, sambil makan kacang dan pisang. Tradisi ini juga diikuti oleh ritual mandi dosa. Salah satu sumur tua di Gorontalo yang berada di desa Batuda’a lah yang diambil airnya dalam melaksanakan ritual ini. Masyarakat percaya bahwa dosa-dosa mereka akan terhapus setelah melaksanakan ritual tersebut dan paling penting, di dalam konstruk kebudayaan masyarakat Muslim Gorontalo, tradisi ini adalah salah satu bagian dari ekspresi Islam. Karena ia merupakan ekspresi Islam, maka, dengan demikian, tradisi ini menjadi sakral meskipun pada taraf tertentu, ini tidak menjadi sebuah kewajiban yang mengikat.
Islam sebagai tradisi diskursif di Gorontalo juga meniscayakan praktik Islam moderat. Dimaksud moderat karena ia bertitikpangkal pada satu pemahaman bahwa Islam dipraktikkan secara inklusif dan menerima berbagai perbedaan. Perbedaan pertama ini terlihat dari penerimaan Islam terhadap adat Gorontalo, dan kedua, terlihat dari hubungan antara masyarakat Muslim dan non-Muslim. Alih-alih menyebut non-Muslim sebagai orang kafir (kapiru), mereka disebut sebagai manusia yang, “jaatiluna taliye” atau “tidak disunat”. Sebaliknya, kata kapiru, justru sering terdengar di kalangan Muslim sendiri ketika merujuk pada individu yang melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai keislaman. Fenomena ini mengasumsikan bahwa, praktik Islam di Gorontalo itu cenderung hati-hati dan lebih menekankan pada hubungan bersama.
Beberapa tradisi yang telah dijelaskan di atas ini, tentu tidak semuanya. Masih ada berbagai praktik Islam di Gorontalo yang layak untuk menjadi bahan refleksi bersama. Namun penting diingat bahwa praktik-praktik ini tidak lahir dari ruang vakum sejarah, tetapi telah melalui definis dan redefinisi sepanjang sejarah. Di sisi lain, tradisi ini penting untuk diangkat kembali ke permukaan sebagai pembacaan alternatif Islam ala Nahdlatul Ulama yang konsen kepada kebudayaan masyaraka lokal terhadap fenomena keislaman yang sifatnya keras dan literal atomistik dalam menafsirkan al-Quran.
oleh Eduart Wolok (Rektor Universitas Negeri Gorontalo/Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Provinsi Gorontalo)